Foto dari iNaturalist

Peyote.

Kaktus kancing itu.

Adi
abdi karma.
Published in
4 min readAug 3, 2023

--

Perjalananku mengoleksi tanaman-tanaman aneh masih belum selesai. Serasa semakin aku menyelam ke dalam samudra ilmu botani, semakin banyak spesies maupun genus yang menunggu untuk diketahui dan dikoleksi. Aku sendiri tidak tahu pasti apakah ini akan berhenti.

Aku memilih sukulen dengan alasan aku malas. Sekiranya hampir 2 hari sekali aku berkewajiban memantau koleksi tanaman daunku, terutama si diva dunia tanaman Calathea (Goeppertia, jika kamu juga sesama botanis). Lewat dari itu, daunnya akan menguncup, mengerut, dan menguning, mati.

Aku muak.

Sukulen memiliki berbagai varian dalam jumlah hari aku harus memantau mereka. Katakanlah, seminggu sekali? Dua minggu sekali? Mungkin lebih?

Mayoritas dari mereka datang dari wilayah yang pada dasarnya meminta seluruh makhluk hidup untuk tidak hidup di atasnya. Suhu siang hari yang panas membara dan suhu malam hari yang membuat air minum sekeras bata. Bukan sebuah wilayah yang ingin kau tempati, sekalipun lahan di sana dijual hampir gratis.

Salah satunya adalah tanaman primadona penggemar film-film Barat; dia berduri bagaikan landak, berlengan bagaikan manusia, dan berdiri tegak seperti saat Diogenes bergelak ‘biped tak berbulu!’: kaktus.

Lebih spesifik, kaktus yang bersangkutan adalah saguaro, kaktus raksasa yang sepertinya mustahil dimiliki di Asia Tenggara. Katakanlah, Anak Muda, pernahkah kau melihat saguaro?

Saguaro telah menjadi bintang di dunia hobiis kaktus sebagai spesies yang terpikirkan saat kita mendengar kata ‘kaktus’. Tapi, aku justru mendapat kaktus lain yang justru sama menariknya atau malah lebih menarik.

Mungkin beberapa dari kalian mengenal beberapa zat psikotropika tertentu yang selalu menjadi berita besar setiap ada seseorang yang tertangkap memakainya; ya, marijuana, atau ganja dalam bahasa kita. Entah seperti apa efek psychedelic yang didapat saat mengkonsumsi ganja, tapi sepertinya tanaman yang bersangkutan memang sebuah perihal yang besar!

Namun aku tidak membahas ganja di sini; kaktus yang akan kubahas di sini juga memiliki kemampuan serupa, namun hanya di keadaan tertentu saja.

Masuklah Lophophora williamsii, si kaktus kancing.

Dikenal dengan nama ‘peyote’ di wilayah aslinya di daerah gersang — bukan gurun pasir, ingat — di selatan Amerika Serikat dan utara Meksiko, kaktus ini ternyata memiliki banyak cerita yang kupikir bisa menjadi cerita yang menarik untuk dibahas.

Mari kita menelisik sejenak tentang bagaimana peyote bisa menjadi perihal yang besar: pertama, diolah dan dikonsumsi dengan cara tertentu, peyote bisa memiliki kemampuan psikotropika juga.

Eits, tunggu sebentar.

Aku terkadang berpikir berbagi informasi ini bisa membawa dampak buruk… ya, bukan! Bukan itu!

Peyote telah dipakai selama berabad-abad, jika tidak ribuan tahun, oleh penduduk asli Amerika Utara dan Tengah sebagai perantara untuk upacara keagamaan/spiritualitas mereka. Dengan kekuatan psikotropika peyote, para peserta upacara memasuki ‘ranah para arwah’ dan pada akhirnya ‘mampu berkomunikasi dengan mereka dari sisi ghaib’.

Dan tentu, tidak seperti ganja, peyote sepertinya tidak memiliki kekuatan serupa jika mereka dibesarkan di bawah naungan dan kasih sayang seorang petani. Ini telah dibahas dan diteliti di berbagai forum dan mereka berkesimpulan bahwasanya jika peyote yang tumbuh dengan nutrisi yang lebih dari cukup dan perawatan bak kaum elit, maka peyote yang bersangkutan lebih baik dijadikan tanaman hias saja.

Lagipula, itulah alasan orang-orang di luar suku-suku Asli Amerika — sepertiku dan mungkin kamu — menanam peyote. Lihatlah warna biru-hijau mereka! Cantik, bukan? Bentuk mereka juga tergolong imut, dan jika mereka berbunga, kau akan tahu kaktus ini bahkan terkesan feminin.

Entah kenapa para wanita lebih suka bunga mawar atau anyelir daripada peyote. Tapi aku tahu juga: peyote jarang berbunga.

Foto dari iNaturalist

Peyote mungkin bukanlah kaktus yang bisa dirawat oleh sembarang orang. Pertumbuhan mereka amat, sangat lambat (sampai aku juga agak frustasi menunggu mereka setidaknya tumbuh 1 cm sekalipun), media tanam mereka mahal (mungkin mencoba memakai kompos murni yang seharga Rp10.000 sangat menggoda, namun lebih baik jangan), dan mereka bukan kaktus bagi kalian yang sepertinya terlalu gemar menyiram tanaman. Kaktus semacam Opuntia mungkin sabar dengan kebanyakan air; namun tidak bagi peyote.

Merawat peyote selama beberapa bulan ini membuatku berpikir, “kaktus tidaklah semudah yang mereka bilang”. Kaktus ini sulit, sekalipun aku sudah mengerti caranya meracik media tanam khusus kaktus, walau hujan dan kelembapan masih menjadi musuh abadi. Mungkin harganya yang mahal menjadi pengingat ini adalah kaktus bagi orang-orang yang serius dalam merawat kaktus.

Peyote, sama seperti apa yang para penganut Jemaat Suku Asli Amerika pikirkan, adalah kaktus yang ditanam bagi mereka yang memiliki sebab untuk merawat mereka, baik itu dedikasi, passion project, atau filosofi hidup dan pengingat bahwa kita perlu bergerak lebih lambat dalam hidup.

--

--