Rage Bait Terbesar dan Termahal

Semuanya dimulai di Titik Merah Kecil…

Adi
abdi karma.
Published in
9 min readApr 21, 2024

--

Hei, diriku yang lama. Bangun! Bangun dari kuburmu dan ceritakan aku sebuah lelucon ter-absurd yang pernah kamu dengar!

Apa? Orang mati tidak bisa hidup kembali? Ah, sebuah pernyataan retoris, tapi aku memang butuh orang itu. Dia bertanggungjawab atas siapa aku ini, seonggok daging dengan manajemen baru. Masih banyak yang harus kupelajari tentang apa yang disukai tubuh ini, suka dan bencinya, dan apa yang harus dilakukannya di masa mendatang.

Baik, baik. Aku bercanda… atau aku memang bercanda?

Sudah 4 tahun yang lalu aku pergi ke Singapura. Titik Merah Kecil. Salah satu negara terkecil di dunia. Negara Denda. Tidak banyak yang kulakukan di sana selain berada, membiarkan sel-selku mati dan meregenerasi kembali seperti semacam robot daging. Demi Tuhan, aku tidak mau ada di sana — jangan bilang orangtuaku, mereka pasti membunuhku jika mereka tahu ini — tapi aku hanya bisa menurut dan mengikuti segalanya. Tapi aku juga lupa kepentingan apa yang membuatku enggan datang ke Singapura, jadi masa bodoh.

Yang kuingat ke sana aku mengajukan untuk pergi ke Taman Burung TMII dan yang kulihat hanyalah benar-benar Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah namun tiketnya Rp350.000/orang. Apa bedanya!? Tapi aku memang pecandu burung jadi aku jepret saja semua burung di sana seperti orang gila, dan hasilnya… memuaskan. Sama seperti di TMII. Tidak lebih, tidak kurang.

Kecuali aku baru ingat di sana ada burung langka dan penguin. Itu pun mereka diam bagai patung dan beberapa bahkan tidak terlihat batang hidungnya. Bahkan aku sampai dimarahi orangtua karena tempat itu benar-benar mengecewakan dan aku menyesal datang ke sana…

…tapi tidak untuk diriku yang lama. Pelancong itu suka sekali dengan burung. Tak peduli sampai kakinya keram sekalipun tetap dia hajar, sekalipun ujung-ujungnya hanya foto-foto mengecewakan yang didapat. Katakan lagi, sebangga itukah kamu melihat burung hering dan elang filipina? Aku lebih bangga kamu bisa beli rumah sendiri, dek!

Cukup untuk itu. Sekarang menuju apa yang dipilih oleh kita semua: Gardens by the Bay. Lapangan Banteng versi elit. Lengkap dengan rumah kaca yang berbalut tanaman-tanaman yang membuatku iri hati dan dengki bahwa ada yang berhasil membuat kebun dengan koleksi yang lebih mahsyur daripada kebunku. Ah, tunggu saja sampai aku punya rumah kaca sendiri!

Akan lebih bagus lagi jika kamu punya opsi untuk membuat dirimu tuli selama di dalam tempat tersebut. Maksudku benar-benar tuli sampai kamu butuh alat bantu dengar! Karena aku benar-benar murka saat keluar dari rumah kaca di tempat itu — bukan kepada koleksi tanamannya; aku suka itu — dan aku menyesal aku dianugerahi pendengaran oleh Tuhan saat aku berada di tempat itu. Aku hanya berharap pendengaranku diambil saat itu dan dikembalikan lagi setelah aku keluar dari Gardens by the Bay. Tuhan, aku benci itu! Oh, andai pendengaranku cacat total selama aku memasuki Cloud Forest!

Dan itulah yang akan kubahas, sebagai pelengkap Hari Bumi tahun ini, penuh dengan kesinisan dan muka masam di tiap kata yang terketik!

Jika kamu mengikuti blog ini selama beberapa lama, aku pernah menulis suatu blog bernada sinis mengenai pemanasan global dan perubahan iklim. Tentu, aku masih merasakan hal yang serupa; aku masih pesimis bahwa kita, manusia, bisa menjadi entitas berbudi pekerti dan bertanggung jawab atas kerusakan di muka dan atmosfer Bumi dan mengubahnya menjadi lebih baik.

Katakanlah, wahai pemrakarsa agung Cloud Forest, apakah mengurangi emisi karbon membuat naik gaji dan promosi jabatan? Apakah mengurangi pemakaian kendaraan bermotor menurunkan nilai nominal PPh dan PBB? Apakah berhenti memakai plastik mengurangi harga tanah supaya rumah bisa lebih terjangkau!? Apakah membuatku merasa bersalah hidup di kota dengan segala apapun fakta pemanasan global yang kalian hantamkan ke mukaku saat aku berusaha keluar dari sana… MEMBUAT ONGKOS KIRIM SETIAP TRANSAKSI DI TOKO DARING GRATIS!?

Jujur, aku benci konten seperti ini. Aku tidak menyangkal perubahan iklim itu tidak ada (atau hanyalah konspirasi pemerintah yang lucu), namun dengan keadaan dan ekonomi seperti ini, mustahil — sekali lagi, mustahil — bagiku untuk melakukan sesuatu yang menurunkan dampak pemanasan global. Setiap opsi yang disarankan untuk ‘masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang’ hanyalah membuat hidupku dan mayoritas penduduk kota di dunia menderita!

Mari kita bahas tentang Jabodetabek — Jakarta dan sekitarnya. Sekalipun Indonesia masih berbenah dalam mengatasi kemacetan di wilayah ibukota/bekas ibukota, Jakarta tidak akan ramah lingkungan apapun caranya selama populasi Jakarta mayoritas masih mengandalkan transportasi bermotor pribadi, msl. mobil dan motor. Dan tentu tidak semua orang bisa dan mau naik kendaraan umum, dan bahkan saya lebih menyukai naik kendaraan pribadi; untuk kasus saya sepeda atau motor.

Di sini, tidak ada yang namanya toleransi keterlambatan. Jika semua masyarakat di Jakarta bisa naik kendaraan pribadi, mereka akan mengambil kesempatan itu. Lagipula, kita naik kendaraan umum pun kalau telat beberapa menit pun harus menunggu lagi… dan belum lagi berdesak-desakan sampai menjadi korban pencurian atau pelecehan di kendaraan umum. Setelah melewati itu semua, mereka telat beberapa menit ke kantor dan akhirnya mendapat SP, atau jika bosnya orang baik, potong gaji.

Begitupula kemacetan. Ya, tentu mengatakan ‘mari naik kendaraan umum!’ mudah dikatakan bahkan oleh anak TK sekalipun, namun eksekusinya? Hanyalah mimpi di sarang penyamun! Mengapa kemacetan terus ada sekalipun kendaraan umum sudah digalakkan di Jakarta? Karena desain kotanya yang tidak ramah pejalan kaki dan kendaraan umum!

Sudah langkah demi langkah kuambil untuk mengambil keputusan pejalan kaki dan pesepeda adalah masyarakat kelas-dua (second-class citizen) di Jakarta. Bahkan di suatu tempat yang sering kukunjungi untuk bersepeda, kecelakaan nahas yang membuat dua orang pesepeda tewas dihajar truk — kepalanya sampai hancur tergilas — adalah motif utama pembuatan jalur khusus pesepeda di wilayah yang bersangkutan. Tahu dari mana aku? Ohoho, jika bukan karena kecelakaan itu, kemanakah jalur khusus pesepeda selama ini dari masa aku masuk SMP, 2010, sampai aku lulus kuliah, 2022!?

Dan aku pun juga masih enggan bersepeda di situ. Kukatakan ya, aku juga hampir mati tergilas truk beberapa kali selama aku bersepeda.

Apakah itu tetap menjadikan Jakarta sebagai kota yang ramah pesepeda dan pejalan kaki? Hmph, tidak. Masih belum. Mungkin mereka (masih) menonton Jeremy Clarkson dan setuju pesepeda adalah semacam hama yang seyogyanya dikendalikan dan bukannya difasilitasi.

Kukatakan sekali lagi — Jakarta tidak ramah pesepeda dan pejalan kaki. Dan melihat budaya kerja dan ekonomi di sana, aku mengerti. Menyelamatkan Bumi atau dapat SP? Berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon atau dipecat? Menyelamatkan penyu atau membuat keluargamu kelaparan? (kejutan: penyu itu juga akhirnya mati diburu nelayan, dimakan hiu, atau mati karena patah hati karena diselingkuhi…)

Tentu, para Cendekia tersohor dari Cloud Forest, Jakarta bukanlah Singapura yang sudah mendapat privilese untuk menjadi kota yang ramah pejalan kaki dan pesepeda, namun populasi Singapura jauh lebih rendah daripada Jakarta! Untuk negara yang apabila dimasukkan ke dalam peta Jakarta dan seluruh negaranya muat dalam Jakarta Utara, sepertinya Anda sekalian memiliki ilham yang lebih baik daripada aku, seorang blogger serabutan! Dan Singapura tidak memiliki permasalahan hidup yang dialami oleh masyarakat Jakarta yang tentu akhirnya beralih ke kendaraan pribadi karena mereka tidak mau mengambil kesempatan diperkosa dan dipecat di hari yang sama karena mereka naik kendaraan umum!

Atau mungkin itu salah kami, warga negara Indonesia, yang terlalu dungu dan buta huruf sehingga tidak berpikir sedalam itu untuk mengurangi pemanasan global walaupun kita tahu penerbangan, apalagi dengan pesawat jet pribadi, memberi lebih banyak emisi karbon daripada ibukota Singapura dan Jabodetabek digabung selama hampir satu abad! (angka aslinya aku masih belum tahu, ini hanyalah hiperbola).

Buh humbug! Aku menyesal punya telinga di Cloud Forest! For fuck’s sake! Maukah kalian, para Intelegensia pemrakarsa Cloud Forest, mencarikan mereka pekerjaan apabila mereka memutuskan untuk menyelamatkan Bumi dan kehilangan pekerjaan karenanya?

Apa ini, rage bait terbesar dan termahal yang pernah kulihat?

Baik, baik. Mari berhenti menjadi Advokat Iblis. Pemanasan global tentu adalah momok mengerikan yang mengancam Bumi di masa depan nanti, dan efeknya sudah kelihatan. Cuaca semakin tidak konsisten. Hujan lebih sering turun sekarang. Muara Angke dan Ancol lebih sering terkena banjir rob dan terancam tenggelam beberapa dekade setelah blog ini ditulis. Malahan, suhu rata-rata bisa menjadi 35°C. Wow! Sangat mengerikan!

Namun lihat kembali apa yang telah kusinggung di atas: ekonomi dan budaya kerja. Ekonomi kita dan negara-negara lain di ASEAN dan dunia mau tidak mau, suka tidak suka adalah kontributor terbesar pemanasan global, sudah tidak dipungkiri lagi. Akan tetapi, menghentikan atau mengurangi emisi karbon bisa berdampak sama mengerikannya pula.

Ambil contoh artis/musisi kedambaan kalian. Tanpa menaiki jet pribadi, bisakah mereka konser tepat waktu? Atau malahan konser di seluruh penjuru dunia? Tentu tidak; mereka tidak mau bergelut dengan khalayak umum, dan maka dari itu enggan menaiki pesawat umum. Atau ambil contoh suplai impor kita. Apabila aktivitas kargo dengan kendaraan beremisi karbon dihentikan dan kembali memakai kendaraan semacam phinisi atau trimaran, harga bahan pokok akan naik drastis karena supply and demand jadi tidak seimbang dan akhirnya muncul krisis moneter!

Ambil lagi contoh paling kecil: paket. Jika kita berhenti memakai kendaraan yang memiliki emisi karbon untuk mengirim paket, tentu artinya kurir harus memakai sepeda atau malah jalan kaki atau segway untuk mengirim paket, dan kita sendiri tahu betapa susahnya mengirim paket bahkan dengan kendaraan bermotor sekalipun. Bayangkan ongkos kirimnya! Aku yakin paket yang dikirim dengan kurir yang berjalan kaki atau bersepeda ongkos kirimnya bisa sampai di atas Rp300.000 per paket! Itu pun untuk paket di bawah 1 kg. Kalau 2 kg!?

Suka tidak suka, mau kalian sampai bernafas manual 1 miliar kali sampai tukang bubur naik haji pun takkan mengubah fakta apa yang berkontribusi besar dalam perubahan iklim adalah hal yang esensial untuk kehidupan kita. Oh ya, berbicara tentang naik haji, bagaimana para jemaat akan pergi ke Mekah tanpa pesawat ataupun kereta? Jalan kaki seperti abad ke-19? Naik kapal tak bermesin dan terancam jadi santapan bajak laut?

Aku sendiri juga tidak bisa mengambil opini tentang masa depan. Ini adalah apa yang disebut dengan ‘prisoner’s dilemma’ dimana apapun keputusan yang diambil, hasilnya buruk semua. Memilih menyelamatkan Bumi, krisis ekonomi. Memilih ekonomi, tinggi air laut naik.

Dan saranku mungkin juga tidak akan didengar oleh mereka sekalipun: kembali menjadi troglodyte, manusia gua. Serius. Bukan kembali hidup di desa, melainkan benar-benar kembali ke masa kita sebelum keluar dari Afrika 200.000 tahun yang lalu. Tiada ekonomi, tiada negara, tiada emisi karbon, tiada Internet. Tentu kalian, para Orang Pintar di Cloud Forest, sendiri bahkan tidak mau mengambil saran itu karena kalian masih mau membeli olahan terbaru dari Don Don Donki atau menamatkan Blue Archive. Hei, aku tidak menghakimi.

Sejujurnya, aku suka Cloud Forest. Ya, dengki dan iri hati adalah sifat manusiawi dan tentu aku iri dengan koleksi yang ada di Cloud Forest, dan aku acungkan dua jempol untuk itu. Selamat bagi para tukang kebun yang sudah bekerja keras datang ke Gardens by the Bay dan bekerja sepenuh hati merawat tanaman-tanaman yang ada di sana! You, you are the real heroes.

Namun di dekat gerbang keluar itulah semua jerih payah tukang-tukang kebun di sana sirna tak berarti. Aku merasa dihakimi hanya karena aku naik pesawat untuk datang ke Singapura padahal aku sendiri tidak mau datang ke sana, dan hanya mengikuti perintah orangtua. Baik, aku perlu mendinginkan kepala…

…hei, para pemrakarsa Cloud Forest. Bahan-bahan untuk mendirikan Cloud Forest datang dari mana? Arsitek-arsiteknya juga datang dari mana? Kerangka yang dipakai untuk membuat struktur-struktur di Gardens by the Bay? Tanaman-tanamannya? Alat-alat yang dipakai untuk membabat lahan untuk mendirikan taman itu?…

…apakah semuanya datang dengan teleportasi? Teknologi portal? Tentu kalian familiar dengan kata ‘munafik’, kan?

…ah, tapi bukannya sudah tabiat manusia untuk menjadi munafik? Aku munafik, kalian munafik, kita semua munafik. Mungkin karena kemunafikkan kita semua kita tidak usah mendengarkan satu sama lain dan tetap menjaga kausa kita tanpa peduli cibiran orang lain, seperti para politikus. Bukan begitu?

Pikirkan Lee Kuan Yew. Pikirkan beliau sejenak. Perkembangan dan keberadaan negara dambaannya juga berkontribusi pada perubahan iklim. Pikirkan Tn. Yew sejenak dan perjuangannya di ranah Malaya.

“Work hard. Get a car” — Jeremy Clarkson

Gardens by the Bay, Singapura

0,1/10 ⭐️

Buang omong kosong munafik itu dan kuberi 9 bintang. 0,1 poin hanya demi para tukang kebun di sana. I cross my heart and hope to die.

--

--